
Jumat, 14 Desember 2007
Diskriminasi Pembangunan

Senin, 26 November 2007
Pertandingan


Adegan demi adegan-bak potongan cerita dalam pentas teater-sudah terjadi sejak peluit pertamna dibunyikan wasit. Pertandingan yang berkesudahan dengan kemenangan tuan rumah PSIS 2-1 ini setidaknya menyisakan cerita yang tidak akan habis untuk dibahas. Mungkin juga untuk direnungkan. Drama pertama terjadi saat pertandingan belum berlangsung 10 menit. PSIS sudah kecolongan gol. Sontak penonton yang memenuhi stadion menjadi terdiam. Sepi, sunyi. Mereka yang tadinya bersorak-sorai dengan nyanyian dan yel-yel, seolah mendapat palu godam yang membungkam mereka. Stadion menjadi sunyi, senyap, kayak dikuburan, he he he he.... Keceriaan hanya ada di salah satu sudut stadion, di bangku offisial dan pemaian cadangan Pelita.
Namun, keadaan itu tidak berlangsung lama. Gol bunuh diri yang dilakukan pemain Pelita, Tommy Rifka, mebalikkan suasana. Stadion kembali bergemuruh. Disinilah salah satu klimaks pertandingan terjadi. Tommy yang merasa bersalah menutupi wajahnya, seolah tidak percaya telah membuat gol ke gawang sendiri. Petir seolah menyambar kepalanya, palu godam seolah dipukulkan ke kepalanya, topan mitag seolah berputar-putra di atas kepalanya. Kepalanya menjadi pening, stadion menjadi hitam, kelam, seolah dunia sudah kiamat.
Puncak dari drama di stadion yang penerangannya tidak layak ini terjadi saat pemain PSIS, Marthen Tao, membuat gol kemenangan untuk PSIS. Tidak hanya penonton, pemain, dan offisial yang bersorak, seluruh stadion bahkan ikut bergoyang. Rumput-rumput dan tembok stadion juga ikut bergemuruh, menyambut gol kemenangan ini. Gol ini seolah menjadi oase yang menyejukkan di tengah corat marit persepakbolaan Indonesia.
Dan inilah pertandingan. Ada kegembiraan, kebahagiaan, kesedihan, keputusasaan, bahkan kiamat.
Selasa, 20 November 2007
Kerusakan Lingkungan
Oleh Heru Sri Kumoro
Sumber: Kompas, 17 November 2007


Perusakan secara alamiah dan pengaruh aktivitas manusia di perairan
Dari hasil monitoring periode 2004-2007 dengan menggunakan metode
Kondisi yang sama juga terlihat pada kemunculan penyusun terumbu
Hal itu terungkap saat pemaparan hasil Reef Check dan Jambore Selam
Reef check itu dilakukan pada 11-13 November. Kegiatan ini diikuti
Pemantauan terumbu karang dilakukan di lima titik di Pulau Menjangan
Lokasi yang dipilih merupakan wilayah khusus pemanfaatan pariwisata,
Pemaparan hasil reef check disampaikan Ketua MBC Achmad Mustofa dan
Menurut Sutrisno, perusakan alamiah terjadi saat badai dan arus deras laut yang membalikkan terumbu karang sehingga mati, seperti di Menjangan Kecil. Badai besar yang terjadi pada akhir Desember 2006 dan awal Januari 2007 sedikit banyak juga merusak terumbu karang,
Kompas yang ikut melakukan pemantauan menemukan karang jenis Acropora atau karang bercabang di Pulau Menjangan Kecil pada kedalaman sekitar 3 meter banyak yang rusak. Karang yang rusak tidak hanya patah sebagian cabangnya, tetapi terbalik.
Selain penggunaan bahan berbahaya seperti potasium, minimnya kesadaran nelayan dan pelaku pariwisata saat belabuh dengan membuang jangkar juga menjadi salah satu faktor yang memperparah kerusakan terumbu karang.
Jangkar yang dibuang nakhoda perahu saat berlabuh sangat merusak
Sebenarnya sudah ada upaya untuk mengurangi laju kerusakan terumbu
Namun, alat ini banyak yang hilang baik karena faktor alam maupun
Adanya aturan yang tegas dan program penyadaran bagi nelayan dan
Rabu, 31 Oktober 2007
Banjir Semarang

Minggu, 28 Oktober 2007
Cerita Tentang Belalang
Romantisme Seekor Belalang Kayu
Putu Fajar Arcana

Saat ujung lem menyentuh tubuh mangsanya, Sinto dan Pesek harus menahan napas lebih dalam agar serangga buruannya tidak terbang, atau pekerjaan berburu belalang itu akan sia-sia....
Di beberapa ruas jalan di Gunung Kidul, saat liburan Lebaran, para pedagang belalang (mentah) berderet-deret. Mereka tahu pasti inilah saat menangguk rezeki lebih dari hari-hari biasanya. Harga belalang pun melonjak tajam. Andang (29), yang berjualan belalang di ruas Jalan Wonosari-Ponjong, pada hari biasa hanya menjual lima renteng belalang hidup berisi 50 ekor seharga Rp 10.000-Rp 15.000, tetapi pada saat Lebaran bisa menjualnya seharga Rp 25.000. "Ya sekali setahun rezeki buat orang kecil...," tutur Andang.
Pedagang dan pemburu belalang ini tahu pasti, Lebaran adalah saat mudiknya para perantau asal Gunung Kidul. Menurut catatan yang amat konservatif, dari sekitar 700.000 lebih penduduk kabupaten ini, sekitar 200.000 orang merantau ke berbagai kota, terutama Jakarta, dan bahkan luar negeri. Menjelang Lebaran, kantor pos setempat mencatat kiriman wesel yang masuk bisa mencapai Rp 180 juta dalam sehari.
Kenyataan tersebut tentu kabar baik yang ditunggu-tunggu Sinto, Pesek, Andang, dan Tardjo (55), para pemburu dan penjaja belalang yang seumur-umur tak pernah meninggalkan Gunung Kidul. Setidaknya rezeki dari rantau itu menetes pula ke saku mereka orang-orang kampung.
Belalang memang hanya serangga. Bagi banyak orang, serangga lebih dicap sebagai hama ketimbang bahan makanan, apalagi sumber protein. Bagi warga Waingapu, Sumba, Nusa Tenggara Timur, jelas sekali jutaan belalang yang menyerbu tanaman pertanian mereka saban tahun adalah musuh yang harus dibasmi. Sementara bagi orang asli Gunung Kidul seperti Inah (55), yang sudah tinggal di Jakarta sejak tahun 1972, makna belalang lebih dari sekadar itu. Belalang adalah sejenis "medium" untuk mengembalikannya pada romantisme kampung halaman. "Kalau belum makan belalang goreng, saya merasa belum pulang," tutur Inah saat membeli belalang dari Tardjo.
Biasanya, tambah Inah, pada hari pertama pulang kampung di Wonosari, ia dan suaminya langsung menyantap belalang sampai dua piring sekaligus. Cara memasak belalang amat sederhana. Belalang yang sudah dibersihkan cukup direndam dengan air gula, garam, bawang putih, dan vetsin. "Habis itu bisa disangrai atau digoreng," kata Inah. Kalau mau bumbunya meresap, sebaiknya ketika direndam dalam bumbu belalang direbus terlebih dahulu sebelum digoreng. Dan camilan dari belalang siap dihidangkan!
Ingin pulang
Rasa belalang yang mirip-mirip udang itu pulalah yang membuat Suprapto (39), perantau asal Gunung Kidul yang tinggal di Bekasi, selalu ingin pulang. Selain menjenguk orangtua dan keluarga lain, keluarga ini selalu meluangkan waktu untuk berpesta belalang goreng.
"Enggak tahu ya, bukan soal enaknya. Namun, belalang mengingatkan saya pada masa kecil," tutur Suprapto. Agak berbeda mungkin yang dirasakan Ella (52), pelancong asal Solo yang kebetulan berwisata ke Pantai Baron. Ia menyempatkan diri berhenti di sekitar alas jati untuk membeli seikat belalang. "Dulu pembantu saya yang bawain, kebetulan dia dari Gunung Kidul, eh ternyata enak," tutur Ella.
Asal-usul orang makan belalang di Gunung Kidul mungkin sulit dilacak. Setidaknya menurut pengakuan Giyadi (60), warga Playen, Gunung Kidul, sejak ia kecil belalang sudah dimakan warga setempat. Karni (55), istri Giyadi yang sedang menggoreng belalang di dapur untuk menu hari itu, juga mengaku sudah makan belalang sejak kecil. "Ya tahunya sudah makan," tutur dia.
Barangkali wilayah Gunung Kidul yang sebagian besar terdiri atas perbukitan karst yang gersang telah membuat mereka menjajal segala kemungkinan sumber pangan dan protein untuk bertahan hidup. Bahkan, daerah ini distigma sebagai kantong kemiskinan karena pada musim kemarau seperti sekarang rakyatnya hanya mampu makan tiwul.
Kekerasan alam dan sulitnya mendapatkan sumber ekonomi berkelanjutan, menurut Darmaningtyas, seorang peneliti, membuat angka bunuh diri, terutama dengan jalan menggantung diri, begitu tinggi. Tahun 1999-2000, ia mencatat tak kurang dari 64 kasus bunuh diri bermotif tekanan ekonomi.
Secara kebetulan di daerah itu pohon jati dan akasia ditanam warga sebagai pohon peneduh sebelum menggarap lahan pertanian di bawahnya. Pada pucuk-pucuk pohon itulah belalang kayu hinggap dan mencari makan. Para pemburu belalang yang tadinya hanya menangkap belalang padi, kini harus menggunakan galah dan lem tikus.
Jikalau dosen Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi IPB Sutrisno Koswara berpendapat bahwa pada serangga, termasuk belalang, ditemukan kandungan protein antara 40-60 persen, pasti bukan lantaran itulah orang Gunung Kidul menyantap belalang. Juga bukan lantaran meniru rakyat Zimbabwe dan Etiopia yang, antara lain, menjadikan belalang sebagai tepung bahan kue. Di banyak negara Afrika, belalang termasuk serangga yang penting sebagai sumber protein.
Warga perantauan Gunung Kidul, seperti Inah dan Suprapto serta Agus (44) yang tinggal di Bandung, menikmati belalang sebagai camilan seolah mengesahkan keberadaan mereka sebagai pemudik. Belalang tidak hanya mengandung nuansa nostalgia, tetapi serangga inilah (mungkin) yang mendorong mereka pergi dan berhasil di tanah rantau. Belalang yang tadinya dicap sebagai penganan kemiskinan, saking tidak adanya sumber lain yang bisa dimakan, kini berbalik menjadi pelepas rindu kampung halaman, yang meski tetap miskin, tetapi menggelora dalam hati setiap warga Gunung Kidul....
Sumber: http://www.kompas.co.id/kompas%2Dcetak/0710/28/perjalanan/3930620.htm
Jumat, 19 Oktober 2007
Keluargaku Surgaku



Selasa, 09 Oktober 2007
HP untuk Semua

Minggu, 07 Oktober 2007
Resensi Buku

Mengutip dari website http://www.kickandy.com/pretopik.asp bahwa ada seorang pecandu narkoba yang bersemangat untuk mengikuti rehabilitasi setelah membaca novel karya Andrea Hirata ini. Si pecandu pun akhirnya bisa sembuh dari ketergantungan narkoba.
Sungguh sebuah novel -- yang diangkat dari kisah nyata -- yang sangat menggugah. Novel yang membuat siapa pun yang membaca akan merasa bersalah dan berdosa jika tidak mensyukuri hidup. Itu pula sebabnya sutradara Riri Reza dan Produser Mira Lesmana tertarik untuk mengangkat kisah ini ke layar film.
MARI KITA TUNGGU FILMYA BEREDAR DAN MARI KITA TONTON RAME RAME.
Bagi yang pingin membaca resensi yang lebih komplit bisa klik di http://sastrabelitong.multiply.com/journal/item/2
Sabtu, 06 Oktober 2007
Sinden Juga Butuh Komunikasi

Pesinden di lereng Gunung Merapi, Dusun Ngargotontro, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Magelang, Jawa Tengah, menerima pesan singkat saat pentas wayang dalam ritual Auman Merti Desa atau meminta selamat dari murka Merapi, Rabu (3/5/2006). Keberadaan telepon memudahkan komunikasi antara pesinden dengan keluarga saat mereka harus pentas sampai ke luar daerah. Selain itu warga yang ingin “nanggap” atau meminta sinden tersebut untuk pentas bisa menghubungi lewat telepon tidak harus jauh-jauh datang ke rumah pesinden.
Telekomunikasi

Di tengah keramaian dan dengan suara lirih, seorang biksu menelepon sesaat setelah melakukan ritual pindapata atau meminta sedekah kepada umat, di Kelenteng Liong Hok Bio di Kota Magelang, Jawa Tengah, Rabu (30/5/2007). Keberadaan telepon genggam dengan sinyal dan suara yang bagus memudahkan masyarakat untuk saling berkomunikasi dengan keluarga, rekan kerja, ataupun orang lain.
Rabu, 19 September 2007
Buka Puasa


Setiap daerah banyak yang memiliki tradisi unik dan menarik yang beda dengan daerah lain. Tak terkecuali masjid-masjid dalam memberikan hidangan menu berbuka puasa. Jika di Masjid Layur atau Masjid Menara di Jalan Layur Semarang, ada kopi Arab dan kurma untuk berbuka puasa maka di Masjid Jamik-masjid besar-Pekojan di Jalan Petolongan Semarang, setiap hari pada bulan Ramadhan selalu ada hidangan bubur India saat berbuka puasa. Tradisi ini menurut sejumlah sesepuh di masjid tersebut, telah berlangsung ratusan tahun lalu. Untuk memasak bubur diperlukan sekitar 12-15 kg beras setiap hari. Bubur tersebut kemudian di bagi ke dalam mangkok-mangkok yang berjumlah sekitar 200 porsi. Seiring perkembangan waktu, selain bubur, dihidangkan juga buah, kurma, air mineral, dan kopi atau susu. Biaya pembuatan menu tersebut didapat dari donatur yang siap memberikan bahan-bahan tersebut sebulan penuh. Kenapa disebut bubur India? Menurut cerita, kawasan Pekojan merupakan daerah yang banyak dihuni warga Indonesia keturunan India, Arab, dan Gujarat. Mereka merupakan pedagang yang juga menyiarkan Islam di bumi nusantara ini. Tidak salah apabila Masjid Pekojan merupakan satu dari empat masjid tertua yang ada di Semarang. Selain dinikmati oleh jamaah masjid, bubur India juga dinikmati pedagang, pekerja, dan tukang becak yang ada di sekitar masjid.
Jumat, 14 September 2007
Tradisi Sambut Ramadhan


Kata Dugder-an, berasal dari kata dug, suara bedug, dan der, suara meriam. Konon, sebagai pertanda puasa, suara bedug dan meriah bertalu-talu di Kota Semarang. Seiring dengan perkembangan zaman, Dugderan telah mengalami modifikasi dan perkembangan. Dugderan tidak hanya sekedar suara bedug dan meriam tapi telah menjadi tradisi budaya yang dilaksanakan setiap tahun.
Selain di Balaikota Semarang, gelaran budaya menyambut Ramadhan juga dilaksanakan di halaman Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang, berupa Festival Warak Dugder 2007. Kegiatan tersebut diikuti 16 perserta perwakilan dari masing-masing kecamatan di Kota Semarang.
Budaya


Kegiatan selama dua hari ini juga dihadiri penyair si "burung merak" WS Rendra dan seniman Magelang, Sutanto Mendut. Fetival pada tahun ini mengambil tema "Matematika Manajemen Budaya Gunung." Selain ajang pesta budaya seniman lereng gunung acara ini juga menjadi sarana silaturahmi antarseniman. Pada ajang ini pula masing-masing kelompok kesenian saling menimba ilmu untuk kemajuan masing-masing kelompok.
Senin, 03 September 2007
Gerhana Bulan

Turun Gunung


Bagi kawan-kawan semua yang pingin melihat kembali aksi seniman gunung ini, bisa datang ke lereng Gunung Sumbing di Kabupaten Magelang untuk menyaksikan Festival Lima Gunung, 8-9 September 2007. Puluhan kelompok seni akan beradu kreativitas di tempat ini. Mulai dari topeng ireng lereng merbabu, topeng saujan dari gunung Andong, Gadung Mlati dari lereng Merepi, Rodad dari Sumbing, dan tak ketinggalan Soreng juga dari Sumbing.
Kamis, 02 Agustus 2007
Peduli Anak Yatim


Mengamati tingkah polah mereka hati ini terasa getir, meski mereka terlihat lucu. Bagaiamana tidak, untuk bermimpi belanja di mal saja kadang mereka tidak berani. Kenyataannya mereka saat ini mengalami. Salah seorang penjaga stan sempat terpaku dan menteskan air mata melihat tingkah polah mereka.
Senin, 23 Juli 2007
Pendidikan

Gimana sih pemerintah itu, ngatur pendidikan kok nggak pernah bener. Belum lagi anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN/APBD belum terealisasikan, ee sekarang keluar kebijakan aga sekolah negeri bisa memperpanjang masa pendaftaran dan daya tampung. Akibat kebijakan ini banyak sekolah swasta yang nggak laku. Belum lagi ada kabar, kebijakan itu untuk mengakomodir kepentingan sebagian elit agar anaknya bisa sekolah negeri? Piye jal? Opo sekolahane dibubarke wae po?
Minggu, 22 Juli 2007
Profesi


Jumat, 20 Juli 2007
Perjuangan

Kadang kita menganggap remeh petani. Mereka sering dianggap sebagai manusia kelas dua, manusia yang tidak bependidikan, atau kasarnya manusia yang bodoh. Stigma itu seakan-akan berada di bawah alam sadar kita. Sehingga kadang kita meremehkannya. Tapi, di balik kesederhanaan dan kesahajaan petanilah kita bisa menikmati makanan setiap harinya. Nasi, sayur, dan makanan lain yang kita satap adalah hasil jerih payah petani. Kadang di balik sikap ikhlasnya menerima "kekejaman" penguasa dalam memarjinalkan-penyengsaraan sistemik dengan kebijakan yang memberatkan petani-mereka mereka memiliki kekuatan untuk tetap bertahan hidup. Akankah kita tetap menganggap mereka warga kelas dua? Maukah kita mencontoh sikap pasrah petani dengan tetap berjuang untuk tetap bertahan? Atau...............................kita menjadi petani aja, PETANI PEJUANG dan PEJUANG PETANI.
Kamis, 19 Juli 2007
Keajaiban Dunia

"Sekali ditetapkan, maka status itu terus berlaku. Adapun pemungutan suara yang diadakan sebuah yayasan berbasis di Swiss terkait pemilihan tujuh keajaiban dunia versi baru tidak ada kaitannya dengan UNESCO," kata Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO Arief Rachman akhir pekan lalu.
Seperti diberitakan sebelumnya, saat ini tengah berlangsung semacam kompetisi global untuk memilih tujuh keajaiban dunia versi baru yang melibatkan sekitar 20 juta orang di dunia. Mekanismenya dengan memasukkan pilihan mereka lewat internet dan telepon. Kampanye bertajuk "New 7 Wonders of the World" itu dimulai sejak tahun 1999 oleh seorang petualang asal Swiss, Bernard Weber, dengan sekitar 200 nomine yang masuk dari seluruh dunia. Ratusan nomine itu lalu diperas menjadi 21 finalis, di mana Borobudur tidak termasuk sebagai finalis.
Menurut Arief Rachman, setelah Borobudur ditetapkan sebagai warisan dunia oleh UNESCO, status itu tidak akan dicoret. "Bahkan, kalaupun Borobudur sampai runtuh dan hanya tersisa sebuah batu pun, candi itu tetap dianggap sebagai warisan dunia," ujarnya.
Selasa, 17 Juli 2007
Komunitas

Senin, 16 Juli 2007
Pendidikan

Jumat, 13 Juli 2007
Dunia Anak

Liputan acara ini membuat aku teringat waktu kecilku, khususnya saat SD-SMP. Di tempat itulah aku belajar bersosialisasi dan tentunya tempat aku mengenal ajaran-Nya. Jadi pingin kembali bermain seperti anak-anak ini, he he he he........
Kamis, 12 Juli 2007
Bencana Lagi

Rabu, 11 Juli 2007
Pendidikan

Selasa, 10 Juli 2007
Inspirasi

Pertanyaannya bagi kita semua-yang diberi kelebihan oleh Sang

Senin, 09 Juli 2007
Pesona Borobudur

Jumat, 06 Juli 2007
Apresiasi Seni


Warga Dukuh Gebyok Kelurahan Ngijo dan Kelurahan Patemon, Kecamatan Gunungpati, Semarang, menggelar Festival Seni Rakyat Gebyok, Jumat (6/7). Festival seni dengan tajuk Marung Seni Nyawuk Kali di Gebyok ini juga dimaksudkan untuk menggugah kesadaran warga akan pentingnya menjaga lingkungan. Kegiatan yang akan berlangsung hingga 8 Juli ini juga sebagai peringatan Hari Lingkungan Hidup. Acara ini dirancang untuk melibatkan semua warga, terutama remaja dan anak-anak dan sebagai upaya nyata menggali potensi kemampuan berkreasi.
Minggu, 01 Juli 2007
Budaya Jawa

Untuk merayakan ulang tahunnya yang ke-70 pada 1 Juli ini, kelompok Wayang Orang (WO) Ngesti Pandowo Semarang menggelar pertunjukan di Halaman Kantor Gubernur Jawa Tengah di Semarang, Sabtu (30/6/2007) malam. Lakon yang dibawakan Pandowo Timbul. Selain personil Ngesti Pandowo, pentas tersebut juga dimeriahkan dengan tampilnya sejumlah perempuan cantik dari Kota Solo. Sayang, pentas yang mendapat sambutan meriah masyarakat tersebut sempat terhenti sejenak karena hujan lebat yang mengguyur langit Semarang. Para penabuh gamelan atau wiyogo satu-persatu meninggalkan lokasi pentas, maklum, lokasi tempat mereka menabuh gamelan tidak ada atap pelindungnya. Patut untuk diacungi jempol, para seniman tersebut tetap semangat untuk melanjutkan pentas. Satu persatu perangkat gamelan dinaikkan ke panggung. Setelah semua persiapan selesai, tidak lebih dari 30 menit pentas yang juga disaksikan Wakil Gubernur Jawa Tengah Ali Mufiz kembali dilanjutkan. Sekali lagi SELAMAT ULANG TAHUN NGESTI PANDOWO.
Sabtu, 30 Juni 2007
Jumat, 29 Juni 2007
Merapi dan Borobudur

Kamis, 28 Juni 2007
Waisak 2007

Pesona Prambanan

Candi Prambanan sebagai candi Hindu merupakan salah satu penanda kemegahan dan keagungan masa lalu. Candi ini dibangun, juga candi-candi lainnya, sebagai bentuk dan sarana pemujaan masyarakat kepada zat yang mereka anggap besar, mahakuasa, dan mahasegalanya.