Petani Pejuang, Pejuang Petani
Seolah tidak mau berpangku tangan dengan keadaan yang ada, petani di Dusun Talunkacang, Kelurahan Kandri, Gunungpati, Semarang, membuat kincir air untuk mengangkat air dari sungai ke areal sawah, Kamis (19/7). Dengan teknologi yang cukup sederhana tersebut petani tetap bisa menanam padi meski pada musim kemarau. Untuk membuat kincir air diperlukan biaya sekitar satu juta rupiah hasil iuran empat sampai lima petani.
Kadang kita menganggap remeh petani. Mereka sering dianggap sebagai manusia kelas dua, manusia yang tidak bependidikan, atau kasarnya manusia yang bodoh. Stigma itu seakan-akan berada di bawah alam sadar kita. Sehingga kadang kita meremehkannya. Tapi, di balik kesederhanaan dan kesahajaan petanilah kita bisa menikmati makanan setiap harinya. Nasi, sayur, dan makanan lain yang kita satap adalah hasil jerih payah petani. Kadang di balik sikap ikhlasnya menerima "kekejaman" penguasa dalam memarjinalkan-penyengsaraan sistemik dengan kebijakan yang memberatkan petani-mereka mereka memiliki kekuatan untuk tetap bertahan hidup. Akankah kita tetap menganggap mereka warga kelas dua? Maukah kita mencontoh sikap pasrah petani dengan tetap berjuang untuk tetap bertahan? Atau...............................kita menjadi petani aja, PETANI PEJUANG dan PEJUANG PETANI.
Jumat, 20 Juli 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
hwaaaaa, potonya kerennn.....
Terimakasih para petani
Hormatku untukmu.
Rejim silih berganti,
namun tak satupun peduli padamu.
kecuali hanya sekedar program basa-basi.
Kaulah manusia paling mandiri di negeri ini.
Posting Komentar