Sekatenan Nang Solo Wis Mulai
Agenda, perayaan, atau tradisi tahunan sekaten di Solo sudah dimulai, tapi baru pasar malam. Agenda lain, yang menjadi inti sekaten, ditandai keluarnya dan berbunyi gamelan Keraton Solo, masih beberapa hari lagi. Meski tidak semeriah tahun lalu, setidaknya menurut sejumlah media lokal ditandai dengan belum semua stan terjual, namun hajatan tahunan ini tetap saja menarik. Salah satu ciri khas pasar malam Sekaten adalah hadirnya sejumlah wahana hiburan rakyat, seperti rumah hantu, tong setan, komedi putar, dan lainnya. Sebenarnya ada satu lagi hiburan rakyat di pasar malam Sekaten yang paling ditunggu, yaitu pentas dangdut. Namun beberapa tahun ini, sekitar 5 tahun, musik rakyat ini sudah tidak dipertontonkan. Alasannya jelas, yaitu pentas dangdut dianggap menodai makna sekaten. Maklum saja, dalam setiap pentas dangdut, penyanyi-penyanyi yang manggung akan berdandanan seksi, mungkin seronok, dan tentu saja dengan goyang yang aduhai (yang dibelakang apa sudah siap digoyang. tangan di atas. yang jauh mendekat yang dekat merapat.....)
Menurut estimologi, Sekaten berasal dari kata Syahadat Tain, atau ucapan dua kalimat syahadat. Syahadat adalah ucapan pengakuan akan ke-Esaan Allah dan keyakinan bahwa Muhammad adalah nabi dan utusan Allah. Sekaten dijadikan sebagai ajang untuk dakwah Islam dengan pengakuan ke-Esaan Allah. Menurut cerita dahulu masyarakat dari luar daerah berbondong-bondong datang ke Alun-alun Utara untuk mendengarkan dakwah atau ceramah keagamaan. Masyarakat rela bermukim dengan mendirikan tenda-tenda di sekitar Alun-alun. Banyaknya masyarakat yang bermukim menjadi rezeki tersendiri bagi masyarakat untuk menjajakan makanan atau mungkin tempat tinggal sementara. Kegiatan ini hampir sama dengan pelaksaan umroh ataupun Ibadah Haji.
Besar dan dalam makna dari Sekaten. Tapi itu semua kadang tidak dalam kenyataan. Saat ini Sekaten lebih menonjol pada sisi hiburan bukan dakwah, sebagaimana tradisi ini pada awal mulanya.
Kamis, 28 Februari 2008
Sabtu, 23 Februari 2008
Perayaan Imlek
Imlek Identik dengan Hujan?
Perayaan Imlek atau tahun baru China baru selesai digelar. Perayaan tersebut biasanya ditutup dengan acara cap go meh, 15 hari setelah Imlek. Imlek sebenarnya belum lama bisa dirayakan secara terbuka seperti saat ini. Setelah dikekang dan "dipenjara" selama lebih 30 tahun oleh (alm) Soeharto, warga Tionghoa baru bisa merasakan kebebasan tersebut pada kepemimpinan Gus Dur.
Ada yang unik dalam setiap perayaan Imlek, sepanjang yang pernah saya saksikan, yaitu selalu dibarengi dengan hujan. Maka tidak heran apabila saat perayaan Imlek akan banyak ditemui warga yang menggunakan payung. Entah kebtulan atau tidak, Imlek biasanya memang dirayakan saat musim hujan, khususnya di Indonesia. Hal tersebut terlihat di Pasar Imlek Semawis di Semarang, Jawa Tengah, akhir Januari lalu. Warga Tionghoa percaya dan yakin, datangnya hujan pada Imlek sebagai tanda keberkahan.
Boleh saja hujan membawa keberkahan saat Imlek, namun hujan ternyata juga mendatangkan kesengsaraan dan kesusahan bagi sebagian warga lainnya. Tentua masih ingat-sekarang juga masih berlangsung-bagaimana warga Kota Semarang, Solo, Pati, Rembang, Demak, Kudus, Blora, Pekalongan, Kendal, dan daerah-daerah lain, yang terpaksa mengungsi atau tetap bertahan di rumah karena banjir.
Tidak sedikit dari mereka yang kehilangan harta benda, rumah, lahan pertanian, bahkan nyawa. Dan mungkin yang mahal adalah terancamnya kesehatan serta kondisi psikologis karena hidup dalam ancaman bencana, dan entah sampai kapan akan berakhir.
Yachh, semoga banjir yang setiap hari menghiasi halaman koran ini tidak akan berlangsung lama. Semuanya akan segera berlalu. Dan yang paing penting lagi, jangan ita mudah lupa dengan kejadian ini. Sehingga kita bisa berfikir dan bertindak secara arif agar bencana itu tidak kembali terulang. Karena bencana ini juga kita yang menimbulkannya. Meminjam slogan SCTV "bencana ini miliki kita bersama" atau "bencana ini dari kita, oleh kita, dan untuk kita."
Perayaan Imlek atau tahun baru China baru selesai digelar. Perayaan tersebut biasanya ditutup dengan acara cap go meh, 15 hari setelah Imlek. Imlek sebenarnya belum lama bisa dirayakan secara terbuka seperti saat ini. Setelah dikekang dan "dipenjara" selama lebih 30 tahun oleh (alm) Soeharto, warga Tionghoa baru bisa merasakan kebebasan tersebut pada kepemimpinan Gus Dur.
Ada yang unik dalam setiap perayaan Imlek, sepanjang yang pernah saya saksikan, yaitu selalu dibarengi dengan hujan. Maka tidak heran apabila saat perayaan Imlek akan banyak ditemui warga yang menggunakan payung. Entah kebtulan atau tidak, Imlek biasanya memang dirayakan saat musim hujan, khususnya di Indonesia. Hal tersebut terlihat di Pasar Imlek Semawis di Semarang, Jawa Tengah, akhir Januari lalu. Warga Tionghoa percaya dan yakin, datangnya hujan pada Imlek sebagai tanda keberkahan.
Boleh saja hujan membawa keberkahan saat Imlek, namun hujan ternyata juga mendatangkan kesengsaraan dan kesusahan bagi sebagian warga lainnya. Tentua masih ingat-sekarang juga masih berlangsung-bagaimana warga Kota Semarang, Solo, Pati, Rembang, Demak, Kudus, Blora, Pekalongan, Kendal, dan daerah-daerah lain, yang terpaksa mengungsi atau tetap bertahan di rumah karena banjir.
Tidak sedikit dari mereka yang kehilangan harta benda, rumah, lahan pertanian, bahkan nyawa. Dan mungkin yang mahal adalah terancamnya kesehatan serta kondisi psikologis karena hidup dalam ancaman bencana, dan entah sampai kapan akan berakhir.
Yachh, semoga banjir yang setiap hari menghiasi halaman koran ini tidak akan berlangsung lama. Semuanya akan segera berlalu. Dan yang paing penting lagi, jangan ita mudah lupa dengan kejadian ini. Sehingga kita bisa berfikir dan bertindak secara arif agar bencana itu tidak kembali terulang. Karena bencana ini juga kita yang menimbulkannya. Meminjam slogan SCTV "bencana ini miliki kita bersama" atau "bencana ini dari kita, oleh kita, dan untuk kita."
Kamis, 21 Februari 2008
Main Bola Yuksss
Masa Depan Sepak Bola Indonesia
Sudah
lama tidak motret dan main bola. Jadi kangen menikmati aroma rumput dan tanah lapangan. Jeda kompetisi Liga Indonesia yang cukup lama ternyata mnenimbulkan kerinduan tersendiri, meski miris juga jika melihat ulah pemain, wasit, penonton, maupun pengurus PSSI ini. Meski dikatakan liga profesional, tetapi mereka sama sekali tidak bisa bersikap profesional.
Nach, kemarin Kamis (21/2), pas lagi jalan-jalan di Stadion Manahan kerinduan itu sedikit terobati, melihat aksi lincah anak-anak bermain bola. Meski usia mereka masih di sekolah dasar, tetapi mereka bermain seolah-olah pemain top Eropa yang bermain di Liga Champion.
Meski terlalu muluk, tetapi aku berharap kejayaan masa depan sepak bola Indonesia bisa mereka raih. Yach, semoga tidak hanya angan-anganku saja.
Sudah
lama tidak motret dan main bola. Jadi kangen menikmati aroma rumput dan tanah lapangan. Jeda kompetisi Liga Indonesia yang cukup lama ternyata mnenimbulkan kerinduan tersendiri, meski miris juga jika melihat ulah pemain, wasit, penonton, maupun pengurus PSSI ini. Meski dikatakan liga profesional, tetapi mereka sama sekali tidak bisa bersikap profesional.
Nach, kemarin Kamis (21/2), pas lagi jalan-jalan di Stadion Manahan kerinduan itu sedikit terobati, melihat aksi lincah anak-anak bermain bola. Meski usia mereka masih di sekolah dasar, tetapi mereka bermain seolah-olah pemain top Eropa yang bermain di Liga Champion.
Meski terlalu muluk, tetapi aku berharap kejayaan masa depan sepak bola Indonesia bisa mereka raih. Yach, semoga tidak hanya angan-anganku saja.
Rabu, 20 Februari 2008
Ulang Tahun Solo
HUT Solo dan Kontroversi Keris
Menyaksikan peringatan HUT ke-263 Kota Solo pada Minggu (17/2) di Halaman Balai Kota Solo, Jawa Tengah, mengingatkan aku pada suasana keraton, baik Solo maupun Yogyakarta. Bagaimana tidak, semua orang yang ikut upacara menggunakan pakaian adat Jawa lengkap dengan blangkon dan keris. Wali Kota Solo Joko Widodo-akrab disebut Jokowi-pun menggunakan pakaian kebesaran layaknya raja yang naik di singgasananya.
Tidak ketinggalan pula, seragam Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP)-polisi yang satu ini identik dengan gusur-menggusur-yang biasanya berwarna coklat, berubah total. Semua pakaian dan atribut diganti layaknya prajurit keraton "lombok abang" lengkap dengan tombaknya. Namanya pun juga berubah menjadi Prajurit Reksa Praja.
Tidak hanya seragam dan atribut, semua aba-aba juga menggunakan bahasa Jawa. Hanya pembacaan UUD '45 dan Pancasila saja yang tetap menggunakan bahasa Indonesia-mungkin takut dikatakan tidak nasionalis. Pada hari itu juga Jokowi mencanangkan pencantuman aksara Jawa pada papan nama baik di kantor maupun tempat-tempat umum lain.
Gaung dan kesan upacara ternyata tidak hanya pada hari itu saja. Hal tersebut dipicu dengan adanya perbedaan peserta upacara dalam menggunakan keris, miring ke kanan atau ke kiri. Bahkan hal itu menjadi bahasan utama di salah atu koran lokal di Solo.
Apapun itu, semuanya sangat berkesan bagi aku. Ini pengalaman pertama bagiku, bahkan di Kota Yogyakarta hal ini tidak dijumpai.
Sekali lagi selamat kepada Solo, selamat berbebah, selamat berubah, dan selamat tambah usia.
Menyaksikan peringatan HUT ke-263 Kota Solo pada Minggu (17/2) di Halaman Balai Kota Solo, Jawa Tengah, mengingatkan aku pada suasana keraton, baik Solo maupun Yogyakarta. Bagaimana tidak, semua orang yang ikut upacara menggunakan pakaian adat Jawa lengkap dengan blangkon dan keris. Wali Kota Solo Joko Widodo-akrab disebut Jokowi-pun menggunakan pakaian kebesaran layaknya raja yang naik di singgasananya.
Tidak ketinggalan pula, seragam Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP)-polisi yang satu ini identik dengan gusur-menggusur-yang biasanya berwarna coklat, berubah total. Semua pakaian dan atribut diganti layaknya prajurit keraton "lombok abang" lengkap dengan tombaknya. Namanya pun juga berubah menjadi Prajurit Reksa Praja.
Tidak hanya seragam dan atribut, semua aba-aba juga menggunakan bahasa Jawa. Hanya pembacaan UUD '45 dan Pancasila saja yang tetap menggunakan bahasa Indonesia-mungkin takut dikatakan tidak nasionalis. Pada hari itu juga Jokowi mencanangkan pencantuman aksara Jawa pada papan nama baik di kantor maupun tempat-tempat umum lain.
Gaung dan kesan upacara ternyata tidak hanya pada hari itu saja. Hal tersebut dipicu dengan adanya perbedaan peserta upacara dalam menggunakan keris, miring ke kanan atau ke kiri. Bahkan hal itu menjadi bahasan utama di salah atu koran lokal di Solo.
Apapun itu, semuanya sangat berkesan bagi aku. Ini pengalaman pertama bagiku, bahkan di Kota Yogyakarta hal ini tidak dijumpai.
Sekali lagi selamat kepada Solo, selamat berbebah, selamat berubah, dan selamat tambah usia.
Langganan:
Postingan (Atom)