Rabu, 31 Oktober 2007

Banjir Semarang

Bermain Di Sekolah Banjir
Namanya juga anak-anak. Meski tahu sekolahannya banjir tapi keceriaan dan kegembiraan masih tetap terpancar. Bermain pun juga tidak terlewatkan. Itulah yang terlihat saat sekolah mereka, Sekolah Dasar (SD) Muhammadiyah 5 Semarang di Jalan Cumi-cumi Raya, Kelurahan Bandarharjo, Semarang, tergenang banjir, Selasa (30/10). Banjir ini disebabkan hujan deras yang turun di Semarang pada Senin malam. Akibat genangan yang masuk ke dalam kelas, proses belajar mengajar terganggu. Sebagian siswa malah kerja bakti menguras air yang masuk kelas. Menurut sejumlah guru, sekolah mereka ini memang menjadi langganan banjir saat musim hujan. Pihak sekolah saat ini telah mempersiapkan bangunan baru untuk merelokasi siswa.

Minggu, 28 Oktober 2007

Cerita Tentang Belalang

Romantisme Seekor Belalang Kayu

Putu Fajar Arcana

SINTO (35) dan Pesek (30) seharian menyusuri hutan jati di sekitar ruas jalan Wonosari-Pantai Baron, Gunung Kidul, DI Yogyakarta. Keduanya membawa galah bambu seukuran lima meter dengan oplosan lem tikus dan kapas di bagian ujungnya.

Saat ujung lem menyentuh tubuh mangsanya, Sinto dan Pesek harus menahan napas lebih dalam agar serangga buruannya tidak terbang, atau pekerjaan berburu belalang itu akan sia-sia....

Di beberapa ruas jalan di Gunung Kidul, saat liburan Lebaran, para pedagang belalang (mentah) berderet-deret. Mereka tahu pasti inilah saat menangguk rezeki lebih dari hari-hari biasanya. Harga belalang pun melonjak tajam. Andang (29), yang berjualan belalang di ruas Jalan Wonosari-Ponjong, pada hari biasa hanya menjual lima renteng belalang hidup berisi 50 ekor seharga Rp 10.000-Rp 15.000, tetapi pada saat Lebaran bisa menjualnya seharga Rp 25.000. "Ya sekali setahun rezeki buat orang kecil...," tutur Andang.

Pedagang dan pemburu belalang ini tahu pasti, Lebaran adalah saat mudiknya para perantau asal Gunung Kidul. Menurut catatan yang amat konservatif, dari sekitar 700.000 lebih penduduk kabupaten ini, sekitar 200.000 orang merantau ke berbagai kota, terutama Jakarta, dan bahkan luar negeri. Menjelang Lebaran, kantor pos setempat mencatat kiriman wesel yang masuk bisa mencapai Rp 180 juta dalam sehari.

Kenyataan tersebut tentu kabar baik yang ditunggu-tunggu Sinto, Pesek, Andang, dan Tardjo (55), para pemburu dan penjaja belalang yang seumur-umur tak pernah meninggalkan Gunung Kidul. Setidaknya rezeki dari rantau itu menetes pula ke saku mereka orang-orang kampung.

Belalang memang hanya serangga. Bagi banyak orang, serangga lebih dicap sebagai hama ketimbang bahan makanan, apalagi sumber protein. Bagi warga Waingapu, Sumba, Nusa Tenggara Timur, jelas sekali jutaan belalang yang menyerbu tanaman pertanian mereka saban tahun adalah musuh yang harus dibasmi. Sementara bagi orang asli Gunung Kidul seperti Inah (55), yang sudah tinggal di Jakarta sejak tahun 1972, makna belalang lebih dari sekadar itu. Belalang adalah sejenis "medium" untuk mengembalikannya pada romantisme kampung halaman. "Kalau belum makan belalang goreng, saya merasa belum pulang," tutur Inah saat membeli belalang dari Tardjo.

Biasanya, tambah Inah, pada hari pertama pulang kampung di Wonosari, ia dan suaminya langsung menyantap belalang sampai dua piring sekaligus. Cara memasak belalang amat sederhana. Belalang yang sudah dibersihkan cukup direndam dengan air gula, garam, bawang putih, dan vetsin. "Habis itu bisa disangrai atau digoreng," kata Inah. Kalau mau bumbunya meresap, sebaiknya ketika direndam dalam bumbu belalang direbus terlebih dahulu sebelum digoreng. Dan camilan dari belalang siap dihidangkan!

Ingin pulang

Rasa belalang yang mirip-mirip udang itu pulalah yang membuat Suprapto (39), perantau asal Gunung Kidul yang tinggal di Bekasi, selalu ingin pulang. Selain menjenguk orangtua dan keluarga lain, keluarga ini selalu meluangkan waktu untuk berpesta belalang goreng.

"Enggak tahu ya, bukan soal enaknya. Namun, belalang mengingatkan saya pada masa kecil," tutur Suprapto. Agak berbeda mungkin yang dirasakan Ella (52), pelancong asal Solo yang kebetulan berwisata ke Pantai Baron. Ia menyempatkan diri berhenti di sekitar alas jati untuk membeli seikat belalang. "Dulu pembantu saya yang bawain, kebetulan dia dari Gunung Kidul, eh ternyata enak," tutur Ella.

Asal-usul orang makan belalang di Gunung Kidul mungkin sulit dilacak. Setidaknya menurut pengakuan Giyadi (60), warga Playen, Gunung Kidul, sejak ia kecil belalang sudah dimakan warga setempat. Karni (55), istri Giyadi yang sedang menggoreng belalang di dapur untuk menu hari itu, juga mengaku sudah makan belalang sejak kecil. "Ya tahunya sudah makan," tutur dia.

Barangkali wilayah Gunung Kidul yang sebagian besar terdiri atas perbukitan karst yang gersang telah membuat mereka menjajal segala kemungkinan sumber pangan dan protein untuk bertahan hidup. Bahkan, daerah ini distigma sebagai kantong kemiskinan karena pada musim kemarau seperti sekarang rakyatnya hanya mampu makan tiwul.

Kekerasan alam dan sulitnya mendapatkan sumber ekonomi berkelanjutan, menurut Darmaningtyas, seorang peneliti, membuat angka bunuh diri, terutama dengan jalan menggantung diri, begitu tinggi. Tahun 1999-2000, ia mencatat tak kurang dari 64 kasus bunuh diri bermotif tekanan ekonomi.

Secara kebetulan di daerah itu pohon jati dan akasia ditanam warga sebagai pohon peneduh sebelum menggarap lahan pertanian di bawahnya. Pada pucuk-pucuk pohon itulah belalang kayu hinggap dan mencari makan. Para pemburu belalang yang tadinya hanya menangkap belalang padi, kini harus menggunakan galah dan lem tikus.

Jikalau dosen Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi IPB Sutrisno Koswara berpendapat bahwa pada serangga, termasuk belalang, ditemukan kandungan protein antara 40-60 persen, pasti bukan lantaran itulah orang Gunung Kidul menyantap belalang. Juga bukan lantaran meniru rakyat Zimbabwe dan Etiopia yang, antara lain, menjadikan belalang sebagai tepung bahan kue. Di banyak negara Afrika, belalang termasuk serangga yang penting sebagai sumber protein.

Warga perantauan Gunung Kidul, seperti Inah dan Suprapto serta Agus (44) yang tinggal di Bandung, menikmati belalang sebagai camilan seolah mengesahkan keberadaan mereka sebagai pemudik. Belalang tidak hanya mengandung nuansa nostalgia, tetapi serangga inilah (mungkin) yang mendorong mereka pergi dan berhasil di tanah rantau. Belalang yang tadinya dicap sebagai penganan kemiskinan, saking tidak adanya sumber lain yang bisa dimakan, kini berbalik menjadi pelepas rindu kampung halaman, yang meski tetap miskin, tetapi menggelora dalam hati setiap warga Gunung Kidul....
Sumber: http://www.kompas.co.id/kompas%2Dcetak/0710/28/perjalanan/3930620.htm


Jumat, 19 Oktober 2007

Keluargaku Surgaku

Tingkah Polah Ponakanku
Beginilah kalau anak-anak kecil disuruh bergaya di depan kamera. Ekspresi, gaya, dan kelakuannya kadang tidak pernah kita duga. Kelucuan, keluguan, dan mungkin kepolosan tingkah merekalah yang kadang membuat kita "gemes" sehingga pingin mencubitnya. Saat mereka kita minta untuk berpose kadang malah nggak mau, tapi saat kita tidak memintanya, eee tiba-tiba mereka bergaya bak foto model di depan kamera. Ya itulah dunia anak-anak. Dunia yang penuh keceriaan, kebahagiaan, dan juga kelucuan. Keceriaan mereka sering kali menjadi energi positif yang mengalir ke sekelilingnya. Polah mereka yang lucu bisa membuat suasana yang tadinya tegang, muram, dan hitam menjadi riang, penuh senyum, dan putih. Jika Chrismansyah Rahadi atau lebih dikenal dengan nama Chrisye dalam syairnya mengatakan masa-masa bahagia adalah masa SMA, sedang bagiku masa bahagia adalah masa-masa anak-anak. Anak yang merdeka anak yang ceria. Maka bagi kita yang merasa dewasa ini, beri anak-anak itu kemerdekaan, beri kesempatan bagi mereka mendapat dunianya, dinia pendidikan, dunia kesehatan, dan juga dunia anak-anak.

Selasa, 09 Oktober 2007

HP untuk Semua

Tunanetra Pun Ber-HP
Tunanetra melihat dari jarak sangat dekat pesan yang tertulis di telepon genggam miliknya di Semarang, Selasa (10/7/2007). Meski memiliki keterbatasan penglihatan tidak menjadi penghalang bagi kaum tunanetra untuk memanfaatkan layanan di HP meski dengan cara yang mungkin bagi sebagian orang kurang lazim, memposisikan HP sangat dekat dengan mata.

Minggu, 07 Oktober 2007

Resensi Buku

Laskar Pelangi
Buku bagus banget yang layak jadi referensi bagi siapapun, terutama bagi kita yang pingin melihat sisi lain realita pendidikan di negeri tercinta ini. Buku ini berisi kisah nyata tentang sepuluh anak kampung di Pulau Belitong, Sumatera. Mereka bersekolah di sebuah SD yang bangunannya nyaris rubuh dan kalau malam jadi kandang ternak. Sekolah itu nyaris ditutup karena muridnya tidak sampai sepuluh sebagai persyaratan minimal.
Mengutip dari website http://www.kickandy.com/pretopik.asp bahwa ada seorang pecandu narkoba yang bersemangat untuk mengikuti rehabilitasi setelah membaca novel karya Andrea Hirata ini. Si pecandu pun akhirnya bisa sembuh dari ketergantungan narkoba.
Sungguh sebuah novel -- yang diangkat dari kisah nyata -- yang sangat menggugah. Novel yang membuat siapa pun yang membaca akan merasa bersalah dan berdosa jika tidak mensyukuri hidup. Itu pula sebabnya sutradara Riri Reza dan Produser Mira Lesmana tertarik untuk mengangkat kisah ini ke layar film.
MARI KITA TUNGGU FILMYA BEREDAR DAN MARI KITA TONTON RAME RAME.
Bagi yang pingin membaca resensi yang lebih komplit bisa klik di http://sastrabelitong.multiply.com/journal/item/2

Sabtu, 06 Oktober 2007

Sinden Juga Butuh Komunikasi

Pesan Untuk Sinden
Pesinden di lereng Gunung Merapi, Dusun Ngargotontro, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Magelang, Jawa Tengah, menerima pesan singkat saat pentas wayang dalam ritual Auman Merti Desa atau meminta selamat dari murka Merapi, Rabu (3/5/2006). Keberadaan telepon memudahkan komunikasi antara pesinden dengan keluarga saat mereka harus pentas sampai ke luar daerah. Selain itu warga yang ingin “nanggap” atau meminta sinden tersebut untuk pentas bisa menghubungi lewat telepon tidak harus jauh-jauh datang ke rumah pesinden.

Telekomunikasi

Tetap Bening Meski Lirih
Di tengah keramaian dan dengan suara lirih, seorang biksu menelepon sesaat setelah melakukan ritual pindapata atau meminta sedekah kepada umat, di Kelenteng Liong Hok Bio di Kota Magelang, Jawa Tengah, Rabu (30/5/2007). Keberadaan telepon genggam dengan sinyal dan suara yang bagus memudahkan masyarakat untuk saling berkomunikasi dengan keluarga, rekan kerja, ataupun orang lain.
 

Copyright 2007 ID Media Inc, All Right Reserved. Crafted by Nurudin Jauhari